Dzun Nun Al Misri, Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Al-Misri adalah seorang ulama sufi, sultan para ahli tarekat, dan salah satu ulama hakikat yang hidup di abad ketiga Hijriah.
Khotib al-Baghdadi dalam Tarikh Dimasyqa menuturkan manaqib Dzun Nun al-Misri, dan menyebutnya sebagai ulama ahli hikmah yang fasih dan zuhud.
Selaras dengan Syekh Khotib al-Baghdadi, Fariduddin ‘Attar dalam kitab Tadzkiratul Auliya juga menyebutnya sebagai tokoh sufi dengan karomah-karomah yang langka, perjalanan yang sempurna dalam menempuh ma’rifat billah, serta pemahaman sirri tauhid yang mendalam.
Hal ini membuat banyak ulama Mesir yang bingung dalam menentukan manhajnya, hingga tak sedikit yang menganggapnya sebagai sesat dan zindiq di masa hidupnya.
Khotib al-Baghdadi menuturkan bahwa ada perbedaan pendapat terkait nama aslinya. Ada yang menyatakan bahwa Dzun Nun adalah nama asli, ada pula yang menyatakan jika Dzun Nun merupakan laqob, dan nama aslinya adalah Tsauban. Beliau juga memiliki nama kunyah, Abu al-Faidl.
Dzun Nun berasal dari Akhmîm 1, beliau juga sempat menempat di Baghdad namun pada akhirnya kembali lagi ke Mesir.
Ayah Dzun Nun bernama Ibrahim, ia merupakan budak yang dimerdekakan Ishaq bin Muhammad al-Anshari. Sebagian riwayat menyatakan bahwa ayah Dzun Nun al-Mishri berasal dari Nubia2
Selain Dzun Nun, Ibrahim juga memiliki 3 putra lain yaitu, al-Humaisa’, Abdul Bârî, dan Dzulkiflî. Akan tetapi tidak ada seorangpun dari saudara Dzun Nun al-Misri yang mengikuti jejaknya dalam bertarekat.
Secara fisik, Dzun Nun al-Misri berperawakan kurus, berkulit cenderung merah dengan jenggot yang tidak beruban.
Dzun Nun al-Misri wafat pada hari Senin, bulan Dzulqa’dah 246H.
Beliau wafat di Giza3, namun jenazahnya dibawa ke Fustat 4 untuk menghindari para pengiring yang telah berdesakan di jembatan. Dan dimakamkan di pemakaman suku al-Ma’âfir.
Sebelumnya, Dzun Nun merupakan pemuda yang menghabiskan waktunya untuk melakukan kesenangan semata. Namun semua itu ditinggkalkan setelah beliau mengalami beberapa peristiwa ini.
Dikisahkan dalam kitab Tadzkiratul ‘Auliyâ’ karangan Syekh Fariduddin ‘Attar bahwa bahwa penyebab taubatnya, terjadi setelah mengalami kejadian beruntun yang menakjubkan berikut ini.
Suatu ketika Dzun Nun ingin mengunjungi seorang zahid yang telah ia dengar namanya, akhirnya dia berhasil menemukan sufi zahid itu mengikat tubuhnya di pepohonan.
Dalam keadaan terikat sufi itu berkata “hai jasadku, bantu, dan ikutilah aku dalam beribadah kepadanya. Jika kamu masih saja menolak dan enggan untuk taat beribadah, aku akan tetap mengikatmu dan membiarkanmu mati kelaparan.”
Melihat kejadian itu, Dzun Nun menangis terharu. Lalu, sufi zuhud yang mendengar suara tangisan Dzun Nun ,sadar bahwa ada yang melihatnya.
Sufi itu lalu berkata:
Siapa itu, yang menangisi lelaki yang tak punya rasa malu dan banyak dosa?
Mendengar itu, Dzun Nun segera menampakkan diri dan mengucapkan salam. Lalu Dzun Nun bertanya:
Apa yang terjadi padamu?
Sufi zahid itu menjawab:
Tubuhku enggan untuk melakukan ibadah, ia lebih senang bergaul dengan makhluk.
Oh, kukira kau telah membunuh seorang Muslim, atau telah melakukan dosa besar yang lain.
Zahid itu kembali berkata:
Ketahuilah, sesungguhnya orang yang bergaul dengan manusia tidak akan mampu menghindar dari hal-hal negatif. Karena pergaulan merupakan sumber kesalahan.5
Mendengar penjelasannya, Dzun Nun berkata, “kezuhudanmu telah mencapai puncak” Zahid tersebut lalu berkata, “jika kau ingin melihat seseorang yang zuhud, pergilah ke gunung itu!”
Penasaran dengan sufi zuhud yang diceritakan, Dzun Nun pun pergi ke gunung yang telah ditunjuk sang sufi. Setelah sampai di gunung itu, ia melihat seorang lelaki di langgar (surau) yang telah mengamputasi salah satu kakinya, dan membuangnya di luar surau hingga hancur dimakan belatung.
Karena penasaran, Dzun Nun al Misri segera menghadap seraya mengucapkan salam, lalu bertanya, “apa yang terjadi?” Lelaki itu kemudian bercerita:
“Sudah bertahun-tahun aku beribadah di surau ini, akan tetapi suatu ketika aku melihat seorang wanita cantik yang lewat. Akupun terpesona dan hatiku tergoda untuk mengikutinya. Namun, saat salah satu kakiku baru saja menginjak keluar dari surau ini, tiba-tiba aku mendengar suara: “sungguh kau tak punya malu, setelah sekian lama beribadah kepada Allah, kini kau ingin mengikuti jalan setan dan akan melakukan kemaksiatan.”
Seketika itu aku memotong kakiku yang menginjak luar surau, dan membuangnya keluar. Kini aku menanti hukuman yang akan diberikan Allah karena kesalahanku itu.”
Kemudian lelaki misterius itu menanyakan maksud kedatangan Dzun Nun, dan menyarankan untuk pergi ke puncak gunung ini jika memang ia berniat mencari sufi sejati.
Dikisahkan dalam Tadzkiratul Auliya’ bahwa Dzun Nun tidak berhasil menemui sufi yang diceritakan oleh lelaki yang memotong kakinya, karena ia merasa kesulitan menapaki jalanan terjal puncak gunung itu.
Meski begitu, Dzun Nun mencari informasi kepada masyarakat sekitar tentang kehidupan sufi zuhud yang berada di puncak gunung.
Mereka yang mengetahui sosok sufi itu bercerita, bahwa di puncak gunung itu memang ada seorang zahid yang sudah bertahun-tahun sibuk menghabiskan waktunya untuk shalat sunnah dan beribadah.
Suatu ketika, sufi tersebut merasakan suatu kejanggalan di hatinya. Namun, ia tidak memedulikannya dan tetap fokus beribadah. Hingga di hari kedua setelah kejanggalan di hati yang tak kunjung hilang, ada seorang lelaki mendatanginya dan mengajaknya diskusi tentang “Rezeki
, apakah disebabkan kasab atau tidak?” Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, sufi itu mengucapkan nadzar tidak akan makan suatu apapun yang dihasilkan dari pekerjaan manusia.Akibat nadzarnya itu, selama berhari-hari ia tidak makan apapun, hingga akhirnya Allah mengirimkan gerombolan tawon madu yang mengelilingi sufi itu dan memberinya madu.
Mendengar cerita itu, Dzun Nun al Misri mengalami gejolak yang hebat di hatinya. Beliau merasa yakin bahwa siapapun yang bertawakal kepadaNya niscaya Dia akan mencukupinya, dan tidak akan menyia-nyiakan amalnya.
Fariduddin ‘Attar dalam kitabnya melanjutkan kisah Dzun Nun al Misri. Beliau menuturkan, setelah kejadian itu, Dzun Nun lantas melanjutkan perjalanannya, dan di tengah perjalanan, beliau melihat ada burung buta yang bertengger di sebuah dahan.
Merasa takjub dengan fenomena alam ini, Dzun Nun bertanya keheranan: “Dalam keadaan buta, bagaiman burung ini mencari makan? Bagaimana ia bersarang?”
Belum sempat memikirkan jawaban atas keganjalan yang menggelitik hatinya, tiba-tiba burung itu turun ke tanah.
Dzun Nun masih penasaran dan dengan seksama beliau perhatikan, apa yang akan dilakukan burung ini.
Tiba-tiba burung itu menggali tanah tempatnya turun, dan keluarlah dua wadah. Wadah pertama terbuat dari emas, dan berisi penuh biji simsim (wijen).
Wadah yang kedua terbuat dari perak dan berisi air. Lalu burung itu memakan simsim tersebut dan melanjutkan dengan meminum air yang ada pada wadah yang lain.
Setelah melepaskan lapar dan dahaganya, burung itu kembali terbang ke ranting semula, dan secara ajaib kedua wadah itu raib ditelan bumi.
Rentetan kejadian menakjubkan ini menjadi sebuah pengalaman spiritual yang dahsyat, dan membuat Dzun Nun al Misri memantabkan diri untuk bertaubat hingga beliau mencapai derajat tawakal tertinggi.
Dalam beberapa kitab tentang Tarjamah para ulama shaleh seperti Rasâil Ibni ‘Arabî, dan Siyar A’lâm an Nubalâ’ tertulis jelas pengakuan para ulama tentang keshalehan dan kezuhudan Dzun Nun al Misri. Diantaranya:
لقيت ستمائة شيخ ما لقيت فيهم مثل أربعة، احدهم ذو النون
Aku telah bertemu 600 syekh, seluruhnya tidak ada yang menyamai 4 orang, salah satunya adalah Dzun Nun.
الزَّاهِدُ, شَيْخُ الدِّيَارِ المِصْرِيَّةِ
Dzun Nun adalah seorang yang zuhud, guru besar di kota Mesir.
Ibnu Yunus
كَانَ عَالِماً، فَصِيْحاً، حَكِيْماً
Dzun Nun merupakan orang yang alim, fashih dan ahli hikmah.
Selain keutamaan tersebut, Dzun Nun juga meriwayatkan beberapa hadits dari Imam Malik, al-Laits, Ibnu Lahî’ah, Fudloil bin ‘Iyâdl, Sufyan bin ‘Uyainah dan ulama-ulama besar yang lain.
Demikian biografi singkat Dzun Nun al-Misri semoga dengan mengingatnya dapat menjadikan kita lebih mengingat Allah, karena mengingat para shalihin menjadikan kita tersirami rahmatNya.
والله اعلم
Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi ﷺ sewaktu ditanya bagaimana cara selamat di zaman akhir. Beliau menjawab “jagalah lisanmu dan janganlah keluar rumah.”
Komentar