Islam Dalam Kemajemukan Beragama

Islam Dalam Kemajemukan Beragama

Kemajemukan Beragama – Indonesia adalah negara yang majemuk, beragam dan plural tidak hanya suku,ras, bahasa, budaya, tradisi, tetapi juga agama. Keragaman dan kemajemukan itu merupakan  kenyataan dan sekaligus juga  sebuah keniscayaan dalam kehidupan di masyarakat. Keragaman merupakan suatu realitas yang dialami masyarakat Indonesia dari dulu hingga sekarang. Sejarah membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, sekalipun beragam, mereka dapat hidup berdampingan secara rukun, saling menghormati, saling menghargai, tepo seliro, saling membantu dan hidup bergotong royong.

kerukunan antar umat beragama di Indonesia secara historis maupun sosiologis perlu diapresiasi oleh semua pihak. Nilai-nilai sosial yang tumbuh subur di masyarakat mengajarkan perlunya hidup harmonis dalam kekeluargaan, hidup bertetangga dengan rukun dan penuh gotong royong. Masyarakat Indonesia telah memiliki mekanisme ketahanannya sendiri, yakni menolak segala perilaku dan tindakan yang dapat menimbulkan disharmoni dan disintegrasi sosial.

Keragaman di satu sisi bisa memperkaya kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di bidang perekonomian misalnya, keragaman bisa menjadi berkah tersendiri. Budaya Indonesia yang beragam menjadi daya tarik tertentu bagi para wisatawan untuk datang ke Indonesia setiap tahun. Namun di sisi lain keanekaragaman juga bisa menjadi sumber konflik kalau tidak dikelola dengan baik.

Bahkan dalam berbagai kesempatan telah ada bentrokan antar golongan masyarakat karena perbedaan agama dan suku. Sekalipun kalau mau diteliti lebih lanjut sesungguhnya bentrokan yang terjadi tidak pure karena masalah agama, tapi lebih karena masalah ekonomi, politik, sosial atau karena masalah lain. Akan tetapi “digoreng” oleh pihak-pihak tertentu dengan menggunakan isu SARA.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, kita seharusnya mensyukuri keragaman itu dengan saling mengasihi bukan dengan memusuhi. Karena keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Dalam surat al-hujurat ayat 13 Allah berfirman yang artinya:” Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal………”. ayat itu menjelaskan bahwa keragaman adalah bagian dari design Allah.

Allah tidak menciptakan kita dalam keseragaman, tapi dalam keragaman dan perbedaan. Keragaman merupakan sesuatu yang dikehendaki Allah. Bukan hal sulit bagi Allah jika berkehendak untuk menyeragamkan semuanya. Namun, Allah menciptakan keragaman sebagai ujian bagi umat manusia. Dalam surat Yunus:99 Allah berfirman:” Kalau saja Tuhanmu menghendaki  tentulah beriman semua orang yang ada di bumi ini tanpa kecuali. Apakah kamu akan memaksa manusia untuk beriman?”

Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Akan tetapi juga bagi seorang Muslim, karena itu merupakan sebuah ajaran agama. Karena itu memulai kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain merupakan bagian dari keMusliman. Keharusan untuk membela kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh al Quran sendiri dalam surat al-Baqarah: 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…..”.

Sejarah dan perjalanan hidup Rasulullah telah menegaskan semangat kerukunan dan kasih sayang sejalan dengan ayat al Quran di atas. Sebagaimana diketahui bahwa ketika Rasulullah hijrah ke Yatsrib, saat itu masyarakat di sana sudah majemuk. Tidak hanya ada orang Islam, tapi juga ada Yahudi, Nasrani dan Majusi; tidak hanya ada orang Arab tapi juga ada non- Arab; ada suku Khajraz, Aus dan sebagainya. Karena itulah Rasulullah tidak hanya mendirikan Daulah Islamiyah, juga Daulah ‘Arobiyyah tapi juga al-Madinah al-Munawwaroh (negara berperadaban).

Dari ayat dan hadis di atas ada pesan eksplisit yang ingin disampaikan bahwa seorang Muslim harus menjadi teladan yang baik bagi umat-umat yang lain terutama dalam menebarkan kasih sayang dan etika publik yang luhur. Jadi seorang Muslim yang baik adalah Muslim yang bisa menampilkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan sehari-harinya. Islam yang penuh dengan kebaikan, keberkahan, kedamaian, kehangatan, Islam yang humble dan  toleran.

Kebaikan dan keberkahan itu tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja tapi tetangga kita yang non-Muslim juga merasakan rahmat itu; tidak hanya manusia, tapi pohon rambutan di depan kita juga merasakan rahmat itu, karena tidak hanya dipetik buahnya tetapi juga disiram setiap hari; tidak hanya tumbuhan, tapi kucing yang ada di sekitar kita juga merasakan rahmat itu karena selalu diberi makan dan diperlakukan dengan baik.

Namun suasana harmonis dan rukun itu hendak dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akhir-akhir ini ada segelintir orang atau kelompok yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan-tindakan yang bisa memecah belah kerukunan hidup umat beragama. Yang terbaru adalah peristiwa penyerangan gereja ST Lidwina di Sleman yang diduga dilakukan oleh seorang yang berpaham keagamaan ekstrim. Terlepas dari golongan dan aliran keagamaan apa, yang jelas tindakannya sudah mencederai “agama” itu sendiri.

Pelaku merasa dirinya beragama tapi sesungguhnya dia tidak “beragama”. Kalau dia beragama Islam misalnya dan tahu tentang ajaran Islam, tentu dia tidak akan melakukan perbuatan brutal menyerang gereja dan orang yang sedang beribadah di dalamnya. Jangankan dalam kondisi damai, dalam kondisi negara yang sedang perang saja, salah satu etika yang harus dijaga oleh orang Islam adalah “Tidak boleh membunuh para rahib”.

Rasulullah bersabda: ” laa taghduruu wa laa taghluu, wa Laa taqtulul wildani wa laa  ash-haabas showaami’i” artinya: “ ………Janganlah kamu membunuh anak-anak dan  para rahib”.  Selain itu, agama-agama juga mengajarkan etika dan akhlak mulia, khususnya tentang kerukunan, tolong menolong dan sikap lapang dada sebagai sesuatu yang bernilai ibadah.

Sebagai bangsa yang majemuk juga religius, toleransi kerukunan umat beragama baik intra maupun antar umat beragama perlu dijaga dan dipelihara secara terus menerus. Toleransi dalam bahasa Arab disebut juga tasamuh yang artinya sikap menghormati, lapang dada. Pada umumnya toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia dan masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak melanggar dan tidak bertentangan dengan ketertiban dan pedoman dalam masyarakat.

Islam adalah agama yang diturunkan ke muka bumi semata-mata untuk kesejahteraan dan rahmat bagi alam semesta “wa maa arsalnaaka illaa rohmatan lil ‘aalamiin”. Dengan demikian, nilai-nilai agama yang kita anut seharusnya bisa menjadi perekat di antara kita untuk hidup secara harmonis, sehingga mampu memberikan sumbangan yang bermakna di dalam persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan bangsa pada umumnya.

Semua orang Islam yang menjalankan agamanya harus saling menghormati dan tidak boleh membenci. Apabila seseorang diberi suatu penghormatan, maka hendaknya orang tersebut membalas penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya, atau minimal membalas dengan penghormatan yang serupa :” Wa idzaa huyyiitum bitahiyyatin  fahayyuu bi ahsana minhaa au rudduhaa” (an-Nisa: 86).

Ayat ini bersifat umum, tidak ada pengkhususan. Jadi siapapun yang berbuat baik; orang Islam maupun non Muslim, maka kewajiban kita untuk membalas kebaikan itu dengan kebaikan yang lebih, dan kalau tidak mampu baru dengan kebaikan serupa. Ayat ini juga secara eksplisit mengajarkan kepada umat Islam untuk tahu “balas budi”. Jadi yang sudah berbuat baik tidak boleh mengingat dan berharap balasan, tetapi yang menerima kebaikan harus mengingatnya dan membalasnya di lain kesempatan.

Kedamaian dan kerukunan adalah impian dari setiap nabi yang pernah membawa dan melahirkan ajaran agama. Namun kedamaian dan kerukunan ternyata masih menjadi “barang mahal”.  Semua pihak baik politikus, negarawan, angkatan bersenjata, filosof, ekonom, apalagi masyarakat menginginkan dan merindukan kedamaian itu. Semua pihak berusaha memberikan kontribusi kepada peradaban dan kebudayaan manusia di bumi. Namun ternyata semakin nyaman dan sejahtera manusia, tetapi tidak serta merta diikuti terwujudnya kerukunan dan kedamaian.

Sumber permasalahannya ada dalam diri manusia itu sendiri. Kebahagiaan dan kedamaian baru bisa dicapai apabila manusia bisa menyeimbangkan potensi yang ada dalam dirinya (jasmani dan rohani). Dibutuhkan rehabilitasi individu dan rekonstruksi kepribadian. Salah satu konsep dalam Islam adalah tentang wihdatun-nubuwwah (kesatuan kenabian). Iman kepada para nabi dan rasul adalah bagian dari aqidah Islam.

Dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul itu al Quran mengajarkan agar kita tidak membeda-bedakan mereka satu sama lain. Allah berfirman dalam surat al Baqarah:136 “Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, dan Ya’kub dan keturunan (mereka) dan apa yang dianugerahkan kepada para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan di antara mereka dan kepadaNya berserah diri”.

Antar agama memang terdapat perbedaan dalam pelaksanaan ritual dan syariah hukum sosial. Namun sudah saatnya untuk kembali pada fitrah falsafah Islam yaitu rahmatan lil ‘aalamin yang memungkinkan untuk dirangkai menjadi pengikat kerukunan antar umat beragama di Indonesia, sehingga terbina sikap saling pengertian dan menghormati antar umat beragama. Bagi umat Islam, berperilaku rukun dan harmonis dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah merupakan kewajiban. Hal ini didasarkan  pada ayat al Quran dan hadis.

Wallahu a’lam bish-shawabi

Artikel ini ditulis oleh admin https://teknosia.net/ dengan judul asli Beragama Tapi Tidak “Beragama”

Editor dan peninjau Mantra Berdarah.

Tinggalkan Komentar
Posting Terbaru

Related Articles

Related